DIBAWAH BENDERA REVOLUSI

20.03 Perindu Surga 0 Comments

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        
                                                                                                                                                       

Dibawah Bendera Revolusi
"Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme"

Artikel Bung Karno yang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, (DBR I hal. 1-23) yang ditulis tahun 1926 memang merupakan salah satu artikel yang cukup menarik untuk dibedah karena materi yang terkandung sangatlah relevan dengan fenomena ketatanegaraan Indonesia saat ini, dimana kekuatan-kekuatan ideologi (kiri) kembali mencuat ke muka setelah tiga dekade sempat terkubur dalam kepemimpinan rejim tiran.
Artikel ini juga menjadi sangat penting karena memuat sebuah gagasan dasar yang kelak akan menjadi landasan konsep kebangsaan Indonesia. Dalam artikel tersebut Bung Karno mencoba menyatukan tiga kekuatan besar yang ada di Indonesia pada saat itu dalam satu front nasional, yaitu nasionalis, Islam, dan marxis (kelak akan disempurnakan dalam sebuah strategi persatuan "Nasakom").
Gagasan penyatuan kekuatan oleh Bung Karno itu pada dasarnya didasarkan pada sebuah fakta sejarah dimana pergerakan nasional saat itu sulit mencapai kristalisasi perjuangan akibat tidak mampu bersinerginya kekuatan-kekuatan nasional yang ada. Sehingga pergerakan nasional menjadi parsial dan cenderung fragmentatif. Untuk itu, Bung Karno merasa perlu menyatukannya, dengan harapan gerakan dapat kembali massif melawan imperium kapitalis.
Langkah yang dipakai Bung Karno dalam upaya menyatukan tiga kekuatan tersebut sangatlah brilian karena ia berhasil membedahnya dalam perspektif masing-masing kekuatan. Sehingga kesamaan-kesamaan prinsip kembali ditemukan dan ditegaskan untuk kemudian disatukan sebagai satu keharusan sejarah (historische notwendigkeit).
*********
Kekuatan yang pertama dibedah Bung Karno adalah nasionalis. Dalam membedah nasionalisme tersebut, bung Karno mengawalinya dengan menceritakan sejarah munculnya paham nasionalisme dengan mengutip pernyataan Ernest Renan (1882), seorang filusuf Perancis dan Otto Bauer (kelompok Austromarxis). Renan memunculkan satu teori bahwa munculnya satu bangsa karena adanya perasaan ingin hidup bersama (bersatu). Sementara Bauer menyatakan bahwa munculnya suatu bangsa itu bukan semata-mata hanya karena adanya kesamaan ras, bahasa, suku, agama ataupun kebutuhan, tetapi lebih dari itu, timbulnya bangsa karena adanya kesamaan riwayat (sejarah) bersama. Dan teori Renan dan Bauer ini ternyata relevan di kemudian hari dengan sejarah berdirinya bangsa Indonesia atas kesamaan nasib (sejarah) sebagai bangsa yang tertindas.
Dalam perkembangan faham nasionalisme berikutnya, ternyata bung Karno tertarik dengan nasionalismenya Gandhi. Ketertarikanya didasarkan pada pemikiran Gandhi yang memanifestasikan rasa nasionalismenya dengan mencintai manusia dan kemanusiaan (humanisme), tanpa membedakan ras, suku maupun agama (pendek kata universal). Dari pemikiran Gandhi ini, kemudian bung Karno menyempurnakannya lagi, yang dikemudian hari akan menjadi roh kaum nasionalis Indonesia. Penyempurnaan itu dilakukan dengan cara menambah dua bagian lagi dari makna nasionalismenya Gandhi.

Bagian pertama : rasa cinta tanah air harus berdasarkan manusia dan kemanusiaan (sama dengan Gandhi).
Bagian kedua : rasa cinta tanah air harus bersendikan pengetahuan atas perekonomian dunia dan riwayat (sejarah). Maksudnya dari bagian kedua ini, bung Karno menginginkan munculnya rasa nasionalisme bukan hanya karena perasaan emosional saja, melainkan dari satu kesadaran atas pengetahuan terhadap sejarah ekonomi dunia yang penuh dengan penindasan dan eksploitasi.
Bagian ketiga : rasa cinta tanah air Indonesia bukanlah copy (tiruan) dari nasionalisme barat. Maksud Sukarno adalah, nasionalisme Indonesia tidak boleh bersifat chauvist sebagaimana yang terjadi di dunia barat (eropa), sebuah nasionalisme yang hanya didasari semangat memerangi bangsa lain. Sifat-sifat chauvinisme bangsa eropa ini mengingatkan kita pada sebuah teori Il Principe (Sang Penguasa) Niccolo di Bernando Machiavelli (1496-1557), seorang filusuf jaman renaissance kebangsaan Italia. Dalam teorinya, ia mengemukakan bahwa kekuasaan diijinkan menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya (cikal bakal teori absolutisme). Bagi Machiavelli, moral dan etika harus diabaikan dalam persoalan politik dan kekuasaan. Teori inilah yang kemudian mungkin dijadikan legitimasi dan justifikasi politik kaum imperialis untuk menjajah negara-negara dunia ketiga berabad-abad lamanya. Dan sifat nasionalisme ini pulalah yang membuat tidak pernah damainya eropa akibat peperangan yang tidak pernah kunjung usai, mulai dari jaman imperium Romawi sampai dengan perang dunia II. Gold, Glory n' Gospel menjadi sebuah slogan yang selalu menyemangati setiap peperangan-peperangan di eropa dalam sebuah perdebatan wilayah.
Dari pemahaman tentang nasionalisme tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa nasionalisme Indonesia ternyata bersifat humanis, revolusioner dan tidak chauvis. Untuk itulah, maka bung Karno akan menyalahkan kaum nasionalis jika ia tidak mau bekerjasama dengan kaum marxis, Islam maupun kelompok lainnya. Karena dengan faham nasionalisme seperti itu, maka siapapun harus menjadi kawan bagi kaum nasionalis selama kapitalisme menjadi musuh bersamanya dan kemanusiaan menjadi landasan perjuangannya.
Jika alasan kaum nasionalis saat ini tidak mau bekerjasama dengan kaum Islam hanya karena alasan kekhawatiran kaum nasionalis terhadap kaum Islam yang akan membawa-bawa agama dalam persoalan politik nantinya, dianggap oleh Bung Karno sebagai sebuah pandangan yang salah. Sebab Islam yang sebenarnya tidaklah demikian. Justru Islam (agama) bagi Bung Karno harus dijadikan dasar nation and caracter building, karena nilai-nilai agama memang membawa nilai-nilai universal yang humanis dan transenden. Hanya saja, Islam di Indonesia memang masih belum menunjukkan api (roh)-nya, karena masih tercampur baur dengan feodalisme. Pandangan Bung Karno tentang Islam dapat dilihat melalui artikel-artikel lainnya di DBR I, antara lain : surat-surat Islam dari Ende, me-muda-kan pengertian Islam, masyarakat onta dan kapal udara, apa sebab Turki memisahkan agama dari negara ?, dan beberapa lagi diantaranya, yang kesemuanya nanti akan kita bedah pula.
Yang paling menarik adalah artikel berjudul : Apa sebab Turki memisahkan agama dari negara (DBR I hal.1-23). Disana secara implisit kita dapat melihat alasan Bung Karno mengapa ia menolak negara Islam. Ia mencontohkan Kamal Ataturk di Turki yang selalu kesulitan membangun negaranya akibat ulah tokoh agama yang seringkali melarangnya membuat kebijakan publik karena dianggap menyalahi agama walaupun kebijakan itu bersifat menolong rakyatnya. Setiap kali negara mengambil keputusan, selalu harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pada ulama untuk ditentukan apakah sunnah, halal, makruh ataukah haram.
Akibatnya Turki menjadi tidak dinamis dan sulit berkembang. Bahkan di Saudi Arabia, pernah Ibnu Saud dilarang para ulama mendirikan tiang radio hanya karena dianggap makruh. Lebih parah lagi, di Turki, pemerintah juga pernah dilarang mendatangkan para dokter untuk mengobati rakyatnya yang terkena penyakit pes karena ulama menganggapnya sebagai tindakan melawan takdir. Akibatnya Islam terpaksa kehilangan rohnya, bukan karena ajarannya, melainkan karena para ulamanya yang terlalu takut pada pembaharuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah kemudian Kamal Ataturk terpaksa memisahkan agama dari terminologi negara agar dapat mengembalikan api Islam yang sesungguhnya.
Itulah pandangan Bung Karno terhadap Islam dengan cara mencontohkan fenomena negara Turki. Dari sana dapat kita simpulkan bahwa yang diperlukan dari Islam adalah apinya untuk ikut membantu nation and caracter building dengan ajaran moral dan budi pekertinya yang luhur, humanis, sosialis, anti kapitalis dan sekaligus transenden (religius). Jadi tidak berupa simbol-simbol kosong belaka, yang justru malah akan mematikan ajaran Islam itu sendiri. Untuk membuktikan bahwa ajaran Islam itu humanis, sosialis dan anti kapitalis tersebut Bung Karno tidak segan-segan mencontohkan pelopor-pelopor pan-Islamisme seperti Sayyid Jamaluddin dan Muhammad Abduh.
Itulah Islam bagi bung Karno, dan itulah Islam yang harus dirangkul dan dipeluk sebagai kawan oleh kaum nasionalis. Kaum nasionalis India saja, yang mayoritas Hindustan, mau bekerjasama dengan kelompok pan-Islam India seperti Maulana Muhammad Ali dan Syaukat Ali, apalagi kaum nasionalis Indonesia yang mayoritas sama-sama penganut agama Islamnya.
**********
Setelah bung Karno berhasil membedah hubungan antara nasionalisme dan Islamisme, kemudian bung Karno mencoba membedah hubungan antara nasionalisme dan marxisme. Dalam artikelnya itu bung Karno secara tegas menerangkan bahwa tidak ada perbedaan yang prinsip antara kaum marxis dengan nasionalis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa dua kekuatan itu selalu mampu bersatu. Contohnya adalah sejarah revolusi China dimana kaum marxis kelompok Mao Tse Tung dapat bergandengan tangan dengan Kuomintang yang nasionalis pimpinan Sun Yat Sen melawan dinasti “tiran” Manchu. (mohon diingat : tulisan ini dibuat sebelum terjadinya perang saudara antara Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek melawan Kun Chan Tang pimpinan Mao Tse Tung).
Bahkan di Indonesia sendiri, buruh-buruh yang digerakkan kaum marxis untuk melawan hegemoni modal Belanda yang tertanam di perusahaan-perusahaan (mascappij) Indonesia, (lihat sejarah pemogokan karyawan kereta api oleh PKI di Semarang 1923), secara tidak langsung selaras (sinergi) dengan machtvorming yang dilakukan oleh kaum nasionalis. Karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menyadarkan rakyat agar bersama-sama melawan kaum imperialis Belanda. Apalagi dengan adanya gerakan kaum buruh tersebut, sadar atau tidak, semangat nasionalisme telah tercipta dengan bersatunya kaum buruh Indonesia. Disini semakin jelas terlihat bahwa tidak ada persoalan yang prinsip bagi kaum nasionalis dan marxis untuk tidak saling bekerjasama. Bahkan secara tidak sadar dua kekuatan tersebut telah saling bahu-membahu dan dukung mendukung dalam satu proses perjuangan nasional.
Jika alasan kaum nasionalis tidak mau bekerjasama dengan kaum marxis hanya karena anggapan bahwa kaum marxis telah berkhianat karena telah mau bekerjasama dengan bangsa barat, dianggap sebagai satu hal yang salah kaprah oleh bung Karno. Disini bung Karno menegaskan, bahwa lawan sebenarnya adalah sistem (stelsel), bukan orangnya. Apalagi bangsa barat yang bekerjasama dengan kaum marxis Indonesia adalah bangsa-bangsa penganut marxis pula yang saat itu tergabung dalam commintern, jadi bukan bangsa bule yang menganut stelsel kapitalisme. Bagi bung Karno, siapapun orangnya, tidak peduli bangsa asing ataukah pribumi, jika ia kapitalis tentu saja akan menjadi musuh bersama (lihat artikel : kapitalisme bangsa sendiri, DBR I hal.181).
Namun bung Karno juga menyalahkan pandangan kaum marxis yang menganggap kaum nasionalis adalah kaum yang berpikiran sempit yang hanya memikirkan bangsanya sendiri ketimbang seluruh bangsa di dunia. Jelas pandangan ini tidak benar, karena memang nasionalisme Indonesia tidak chauvist. Nasionalisme Indonesia justru sangat humanis, dimana nilai-nilai kemanusiaan (zonder exploitation de lhomme par lhomme) dan perdamaian abadi (zonder exploitation de nation par nation) menjadi roh dan cita-citanya. Dan secara prinsip cita-cita kaum nasionalis ini ternyata tidak bertentangan dengan cita-cita kaum marxis itu sendiri, yang menginginkan terwujudnya sosialisme dunia melalui internationale-nya.
************
Setelah membedah hubungan nasionalisme dan marxisme, yang terakhir, bung Karno mencoba membedah hubungan antara Islamisme dan marxisme. Secara lugas bung Karno dapat menjelaskan bahwa ajaran-ajaran pokok marxisme pada dasarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, justru sebaliknya malah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam itu sendiri.
Salah satu hal yang dikemukakan bung Karno adalah tentang masalah “teori nilai lebih” (surplus value/meewaarde). Nilai lebih yang selama ini menjadi dasar pemikiran kaum marxis dalam upaya memperjuangkan kaum buruh tersebut pada dasarnya tidak jauh beda dengan apa yang diistilahkan dengan riba dalam hukum Islam. Teori nilai lebih itu menjelaskan bagaimana nilai kerja yang dikeluarkan kaum buruh tidak sebanding dengan upah yang ia peroleh. Sebaliknya keuntungan dapat diperoleh secara berlipat-lipat oleh para pemilik modal. Inilah faktor keadilan yang digagas Marx dalam konsep teori nilai lebih itu. Dan menurut pandangan hukum Islam, nilai lebih atau riba, atau mengambil keuntungan dari yang bukan haknya, adalah satu hal yang dilarang oleh agama. Dan bung Karno menyitirnya dari salah satu ayat Al-Qur’an (al-Imran 129).
Lontaran bung Karno ini sama persis dengan apa yang dilontarkan oleh Tjokroaminoto dalam salah satu tulisannya yang juga mencari kesamaan antara Islam dan marxisme (1924). Hanya saja, Pak Tjokro sedikit menambahkan persamaan lagi yaitu mengenai tujuan marxisme untuk menghentikan penindasan dengan cara memerdekakan para buruh. Apa yang selama ini menjadi perjuangan kaum marxis itu pada dasarnya juga menjadi tujuan Islam dalam menjalankan hablum minannas-nya. Kaum Islam adalah kaum yang anti perbudakan. Bukti dari kaum Islam anti perbudakan itu, kita dapat melihatnya dari tindakan Nabi Muhammad saw sendiri yang telah memerdekakan seorang budak agar dia terhindar dari penindasan. Dari sini nampak bahwa apa yang dilakukan dan menjadi cita-cita kaum marxis sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam, walaupun cara-caranya tetap ala kaum marxis sendiri.
Bung Karno mengakui bahwa antara kaum Islam dan kaum marxis tetap memiliki perbedaan, khususnya mengenai asasnya. Jika Islam berasaskan spiritualisme, marxisme berasaskan materialisme. Namun bagi bung Karno perbedaan itu tidaklah menjadi halangan, selama cita-citanya adalah sama-sama sosialis dan musuhnya sama-sama kapitalis.
Jika saat ini kaum Islam enggan bekerjasama dengan kaum marxis karena alasan kaum marxis atheis, bung Karno mencoba meluruskannya bahwa kaum marxis pada dasarnya tidak atheis. Image atheis itu pada dasarnya tidak lebih sebagai implikasi propaganda kaum gereja yang sengaja mengaburkan antara faham wijgerig-materialisme dengan histories-materialisme. Padahal secara substantif keduanya memiliki arti yang sangat berbeda. Wijgerig-materialisme adalah cara berpikir untuk mencari tahu dimanakah pikiran itu berasal, sementara histories-materialisme mempelajari pertumbuhan pemikiran manusia. Namun kaum gereja sengaja mencampur adukkannya sehingga kemudian menimbulkan image bahwa kaum marxis adalah kaum yang men-Tuhan-kan materi dengan cara menyembah benda. Benda adalah segala-galanya dan keberadaan Tuhan sengaja dinegasikan.
Bagi bung Karno itu tidak benar, sebab historis materialisme yang dikemukakan Hegel yang kemudian disempurnakan oleh Marx melalui materialisme dialektikanya hanyalah sebuah pisau analisis saja dalam upaya membedah persoalan-persoalan penghisapan dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari masalah ekonomi. Sehingga dengan pisau analisis histories materialisme tersebut maka lahirlah sebuah teori baru yang mengupas penyebab penindasan kaum buruh dengan melahirkan teori nilai lebih (surplus value/meewaarde) dan prediksi dari implikasi penindasan tersebut (verelendung).
Polemik persepsi apakah komunisme atheis atau tidak, kita dapat meruntutnya dari kronologi sejarah pemikiran materialisme, mulai dari George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx sendiri (1818-1883). Jika mau jujur, adalah Feurbach yang paling radikal mengkritik agama. Kritik Feurbach ini disebabkan pada ketidakpuasannya pada Hegel. Bagi Feurbach, pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa segala perbuatan, pemikiran dan tingkah laku manusia adalah kehendak “roh semesta” (Tuhan), dan manusia dianggap seperti wayang dan Tuhan adalah dalangnya, oleh Feurbach dianggap tidak rasional. Pemikiran Hegel itu ditentang Feurbach karena menurutnya Tuhan itu hanyalah replika angan-angan manusia. Dan agama adalah pikiran-pikiran ideal manusia tentang hakekatnya. Feurbach tidak setuju jika manusia menyembah Tuhan yang direkayasanya sendiri. Menurut Feurbach, jika manusia ingin lepas dari keterasingannya, manusia harus meniadakan agama, dan tidak perlu menyembah Tuhan, dialah yang harus menjadi Tuhan atas dirinya sendiri agar bisa menjalankan hakekat yang diyakininya.
Pemikiran Feurbach ini kemudian disempurnakan oleh Marx. Menurut Marx, tidak ada gunanya mengkritik agama, sebab nilai-nilainya mengajarkan kebaikan. Hanya saja menurut Marx, nilai-nilai tersebut tidak diwujudkan, melainkan disembah dan diharapkan berkahnya. Oleh karena itu Marx lebih sepakat mengkritik struktur masyarakat ketimbang agama. Kenapa manusia tidak menjalankan hakekatnya sebagaimana ajaran agama yang diyakininya ? Kenapa manusia hanya menyembah dan mengharap berkah dan menunggu takdir ? Itulah yang dicari Marx dalam struktur sosial.
Pemikiran Feurbach yang disempurnakan Marx inilah yang kemudian dijadikan senjata kaum gereja untuk memvonis komunis atheis. Dan propaganda kaum gereja ternyata efektif sehingga persepsi yang sengaja dibuat salah itu telah terlanjur menjadi persepsi umum masyarakat eropa, sehingga image negatif itu tetap tidak dapat dihapuskan, bahkan menjalar sampai ke Indonesia. Akibat ulah kaum gereja inilah yang kemudian membuat kaum marxis menjadi dendam dan semakin benci terhadap kaum gereja. Namun bagi bung Karno, kebencian kaum marxis tersebut tidak boleh digeneralisasi dengan keberadaan agama Islam di Indonesia. Sebab agama Islam di Indonesia bukanlah agama Katolik di eropa yang menjadi penguasa dan berkuasa, melainkan tertindas dan ditindas. Sehingga tidak perlu kaum marxis Indonesia ikut-ikutan membenci dan memusuhi kaum Islam Indonesia. Begitu pula sebaliknya, kaum Islam Indonesia tidak perlu lagi membenci kaum marxis Indonesia karena mereka memang bukan atheis, justru mereka mayoritas muslim, apalagi cita-cita dasarnya sama-sama sosialis dan musuhnya juga sama-sama kapitalis.
Itulah pokok-pokok pikiran bung Karno yang mencoba menghubungkan tiga kekuatan besar tersebut : nasionalisme dan marxisme, nasionalisme dan Islamisme, Islamisme dan marxisme.
**************
Setelah melihat isi pokok dari artikel berjudul nasionalisme, Islamisme, marxisme, ada baiknya pula jika kita sedikit menengok sejarah pada tahun 20-an, tahun dimana tulisan itu digulirkan oleh Bung Karno. Di akhir tulisan, bung Karno sempat memunculkan tiga nama yang dianggap representasi tiga kekuatan, yaitu : Oemar Said Tjokroaminoto, Sema’oen dan Tjipto Mangunkusumo.
Tjokroaminoto mewakili kelompok Islam melalui Sarekat Islam (SI) yang berdiri sejak 1912. Sema’oen mewakili kaum marxis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berdiri sejak 1920 dari rahim de Indische Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV 1917). Dan terakhir Tjipto Mangunkusumo yang mewakili kelompok nasionalis melalui Boedi Oetomo yang berdiri sejak tahun 1908.
Hubungan kerjasama antara kekuatan-kekuatan tersebut pada dasarnya telah terjalin sejak masa 1920-an, khususnya antara kaum marxis (PKI) dan Islam (SI). Untuk kaum nasionalis (Boedi Oetomo), saya kesulitan mencari referensinya sehingga tidak bisa menceritakan sejauh mana hubungan Boedi Oetomo dengan PKI maupun SI. Justru yang banyak diceritakan dalam cuplikan sejarah adalah figur bung Karno sendiri dalam sepak terjangnya memberikan gagasan-gagasan nasionalisme. Sebenarnya bagi saya, yang lebih pantas merepresentasikan kaum nasionalis pada tahun 20-an itu adalah bung Karno bukan Boedi Oetomo. Sebab di tahun-tahun itu, bung Karno banyak sekali mengukir sejarah, diantaranya pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927 dan pencetusan Sumpah Pemuda 1928 dalam Kongres Pemuda II. Namun jika kawan-kawan lain ada yang lebih lengkap referensinya, mungkin dapat pula menulisnya sebagai bahan kajian kita bersama. Dan kembali kepada pokok persoalan, karena keterbatasan referensi itu, maka saya mohon maaf jika hanya mampu menceritakan kronologis sejarah antara PKI dan SI saja.
*************
Beberapa catatan sejarah menyatakan bahwa hubungan antara PKI dan SI telah terjalin erat sejak tahun 1917, terutama sejak berdirinya de Indische Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV), partai sosialis yang pertama kali berdiri di Indonesia oleh orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia. Namun versi sejarah menyatakan bahwa kedekatan PKI dan SI saat itu, tidak lebih dari keteledoran SI yang telah disusupi ideologi marxis. Kedekatan SI dengan kaum marxis inilah yang kemudian membuat SI terpecah menjadi dua yaitu “SI merah” dan “SI putih”. Orang-orang yang selama ini merangkap keanggotaan dalam SI dan PKI, setelah terkena disiplin partai oleh Tjokroaminoto, akhirnya dikeluarkan dari SI. Orang-orang yang dikeluarkan tersebut mereaksinya dengan cara mendirikan SI merah (SI yang berbau marxis) dengan tokoh-tokohnya seperti Sema’oen, Mas Marco Martidikoro dan Haji Misbach, yang poros gerakannya dipusatkan di Semarang Jateng. Namun keberadaan SI merah ini tidak bertahan lama, karena Sema’oen sebagai tokohnya ternyata lebih aktif di PKI, karena ia memang memiliki anggota rangkap baik di SI maupun PKI. Mas Marco sendiri kemudian lebih memilih meneruskan aktifitasnya sebagai jurnalis dalam surat kabar Doenia Bergerak yang ia pimpin.
Hubungan PKI dan SI resmi putus sejak tahun 1923 yang diinisiatifi oleh PKI sebagai reaksi atas program disiplin partai yang diterapkan Tjokro pada seluruh anggota SI. Sikap PKI yang mulai ekslusif dan tidak mau bekerjasama dengan kekuatan nasional lainnya ini pada dasarnya terletak dari kepongahan pimpinan PKI itu sendiri (Alimin, Muso dan Sema’oen). Kepongahan itu muncul karena doktrin PKI sendiri yang harus menjadikan PKI sebagai partai pelopor (avantgarde) dan harus menjadi satu-satunya partai yang boleh hidup bila mereka berkuasa nanti, sebagaimana ajaran marxisme-leninisme yang mendominasi aliran di tubuh PKI. Dengan sikap doktrin seperti itu, jelas PKI menganggap tidak perlu beraliansi dengan kekuatan lain yang mestinya dapat ia jadikan kawan.
Sikap doktrin seperti ini sebenarnya dianggap salah oleh Datuk Sutan Ibrahim atau cukup dikenal dengan nama Tan Malaka (1896-1949). Sebab menurut Tan, doktrin itu yang menyebabkan kaum marxis susah merebut kekuasaan karena telah mengabaikan kekuatan-kekuatan lainnya, khususnya kekuatan pan-Islamisme yang pada saat itu juga mulai mencuat di Asia melawan imperialisme. Sikap dari pemikiran Tan yang menentang kebijakan PKI ini sebenarnya sangat wajar, mengingat Tan saat itu memang sedang aktif dalam commintern mewakili Asia Tenggara. Dan di commintern saat itu memang sedang gencar-gencarnya terjadi perdebatan konsep dalam upaya merevisi marxisme.
Perevisian konsep marxisme tersebut bermula dari gagasan Antonio Gramsci (1891-1937), pendiri Partai Komunis Italia tahun 1921, yang kemudian dituangkan dalam salah satu bukunya Prison Notebooks. Pada prinsipnya Gramsci menyampaikan betapa pentingnya partai komunis beraliansi dengan partai lain untuk bersama-sama merebut kekuasaan dari tangan kapitalis. Konsep partai tunggal sebagaimana diteorikan Vladimir Ilyits Ullianov yang kemudian dikenal dengan nama V.I. Lenin (1870-1924) oleh Gramsci dianggap sudah tidak relevan lagi dan justru menyulitkan gerakan kaum komunis. Bagi Gramsci, kekuasaan lebih mudah direbut dengan cara beraliansi dengan kekuatan lain melalui sistem parlementer.
Pemikiran Gramsci inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai awal bangkitnya komunisme baru dalam Internationale III yang berhasil merevisi dan memperbaiki marxisme, yang kemudian mengidentifikasikan dirinya dengan menyebut “erokomunisme”. Lebih lengkapnya, tentang perubahan-perubahan konsep marxisme ini kawan-kawan dapat mencermati pemikiran-pemikiran yang pernah dilontarkan oleh Rosa Luxemburg, Eduard Bernstein, Vladimir Lenin, Karl Kautsky dan Antonio Gramsci, yang pada akhirnya memunculkan perdebatan panjang diantara mereka sendiri.
Erokomunisme ternyata juga dapat dibaca dan ditangkap oleh bung Karno. Di dalam artikelnya, ia menyambut positif perubahan komunisme itu. Bagi bung Karno, perevisian itu dianggap sebagai satu langkah maju, karena Marx memang bukan seorang dewa, yang ajarannya harus bersifat absolut-dogmatis, melainkan harus terus direvisi agar dapat dinamis sesuai perubahan dan perkembangan jaman. Dengan perubahan itulah, maka wajar jika Sukarno mengkritik PKI yang tidak mau bekerjasama dengan kekuatan nasional lainnya, padahal partai-partai komunis di eropa (barat) telah melakukannya.
Satu-satunya tokoh PKI yang sepakat dengan perubahan konsep marxisme hanyalah Tan Malaka. Bahkan di tahun 1921, Tan telah mengeluarkan sebuah tulisan berjudul Sovyet atau Parlemen, yang intinya hampir sama dengan pokok pikiran Gramsci, bahwa sistem parlementer jauh lebih baik daripada sistem partai tunggal soviet. Tentang sifat elitisme di tubuh PKI, Tan sudah seringkali menganjurkan kepada tokoh-tokoh PKI lainnya agar mau beraliansi dengan partai-partai lain, terutama kekuatan pan-Islamisme Indonesia yang saat itu diwakili Sarekat Islam. Bahkan Tan sangat menyesalkan tentang putusnya hubungan PKI dan SI di tahun 1923.
Namun apa yang dianjurkan oleh bung Karno maupun Tan Malaka, tampaknya tidak mampu menggoyahkan sikap Sema’oen dan kawan-kawannya, karena doktrin Sovyet dengan sistem diktatuur proletariat (tepatnya diktatuur partai) telah terlanjur berhegemoni dalam pikirannya. Bahkan pesona keberhasilan revolusi Oktober 1917 kaum Bolsyevik dalam perjuangan bersenjata melawan rejim Tsar, telah mengilhaminya untuk melakukan pemberontakan PKI di tahun 1926. Keputusan untuk memberontak ini ditentang keras Tan Malaka, sebab Tan tahu bahwa Sema’oen dan kawan-kawannya telah buta matanya terhadap faktor obyektif yang ada dalam masyarakat karena telah tertutup oleh faktor subyektif (ideologis) yang berlebihan. Sehingga Tan menganggap tindakan itu tidak lebih sebagai tindakan yang bersifat advonturir dan kekanak-kanakan.
Namun pemberontakan tetap dilaksanakan, dan ternyata memang gagal. Alimin, Muso, Darsono dan Sema’oen berhasil melarikan diri ke Rusia. Namun ratusan ribu tetap ditangkap dan dibuang ke Digul, Tanah Merah, Irian Jaya (Papua). Atas kekalahan PKI itu, maka Tan Malaka memutuskan untuk mendirikan partai lagi yang diberi nama Partai Republik Indonesia (PARI) di tahun 1927, bersama-sama Subakat dan Jamaludin Tamim. Dan pada tahun 1948 kemudian, Tan Malaka kembali mempromotori pembentukan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yang didukung kader-kader mudanya, Chaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik..


tulisan ini dibuat oleh : Bung Donny Tri I. Margiono (mantan Presidium GMNI)

sumber http://pojokyudhapradana.blogspot.co.id/2010/01/bedah-buku-dibawah-bendera-revolusi.html

0 komentar: